Sunday, January 30, 2011

Kehilangan

BY ana IN 1 comment

Alkisah ada seorang anak manusia yang sedang bersedih. Bila kau cukup peduli, mungkin kau akan bertanya, “Mengapa?” lalu aku akan menjawab pertanyaanmu dengan serius karena hanya ini cara yang ku tahu untuk menghapus kesedihan anak manusia itu. Aku akan menceritakannya padamu dan aku harap kau bisa hilangkan kesedihan anak manusia itu, namun jika ternyata kau tak bisa, aku harap kau akan menceritakan kisah ini kepada orang lain hingga ada seseorang yang mampu membantunya.

Beruntunglah dirimu karena cerita ini kau dapat dari tangan pertama, artinya kau mendapatkannya langsung dari sumber aslinya. Ya, aku mengenal anak manusia ini. Dia adalah seorang perempuan, walaupun katanya ia sendiri tak yakin. Dia berusia 18 tahun, walau ia sendiri tak yakin. Aku tahu fakta ini dari surat-surat resmi yang berkaitan dengan dirinya, meskipun ia terus menerus membujukku agar tak mudah percaya dengan apa yang ditulis disana karena katanya, “Tak ada yang dapat kau percayai di dunia ini selain dirimu sendiri, wahai dirimu.”

Pada suatu hari aku menemukannya sedang berdiri diam di tengah-tengah tempat terbuka di depan perpustakaan fakultas kami. Wajahnya menghadap ke arah matahari yang sinarnya cukup terik di hari itu. Ia tidak bergerak, hanya menengadah. Tangannya tergantung begitu saja di samping tubuhnya dan kulihat matanya sedikit terpejam untuk menghalau sedikit cahaya yang sangat silau. Orang-orang lalu lalang seakan tak peduli dengan kelakuan aneh manusia yang satu itu. Tak lama setelah aku membiarkannya begitu selama beberapa saat, aku bertanya, “Kau kenapa?” sambil menariknya ke bawah bayang-bayang bagunan perpustakaan.

Kuperhatikan kini wajahnya yang tanpa ekspresi dan sinar matanya yang hampa. Ia tak langsung menjawab pertanyaanku, ia tetap diam sejurus lamanya. Kemudian matanya yang kosong menatap langsung ke mataku, “Aku kehilangan sesuatu, wahai dirimu.”

“Apa?” tanyaku. “Kehilangan apa yang bisa membuatmu bertingkah seperti ini?”
Kau kembali diam, namun kini ditambah senyum sedih di wajahmu.

“Ayo, mari cari lagi bersamaku. Dua orang mencari, lebih baik daripada satu.”

“Kau memang orang yang baik. Tapi sayangnya itu tak membantu sekarang ini. Sesuatu yang kucari bukanlah benda nyata yang bisa ditemukan di dunia fana. Sesuatu ini bukanlah benda yang dapat dirasakan oleh indera biasa. Sesuatu ini bernama imajinasi,” katanya panjang lebar masih dengan wajah hampa yang sarat dengan kesedihan.

Aku pun ikut terdiam seperti dirinya. Imajinasi? Apa imajinasi itu? Bukankah imajinasi merupakan hal yang sama dengan ide, inspirasi ataupun ilham? Ataukah imajinasi adalah kemampuan untuk berkhayal belaka? Aku tak mengerti sama sekali: tentang manusia ini dan imajinasi.

Aku tak mempertanyakan keherananku padanya karena tak ingin dianggap bodoh. Akhirnya di kampus ini, fakultas kami, bersama-sama kami mencari imajinasi: imajinasinya. Beberapa tempat telah kami telusuri:

1. Kelas kami yang bisu. Kami mencari imajinasi di antara bangku-bangku kuliah yang tak teratur posisinya, di dinding-dinding bata berwarna merah yang memisahkan kelas itu dengan kelas sebelah, di bawah meja kayu berat yang disediakan untuk dosen, serta di papan tulis putih yang penuh coretan istilah yang sebagian tak dapat kami mengerti. Kami tak bisa menemukannya
2. Taman-taman fakultas kami. Kami mencari di kekokohan bangku semen yang melingkar, di atas meja bundar yang permukaanya tak rata, bahkan di udara yang katanya penuh dengan sinyal-sinyal yang dapat menghubungkan dunia nyata dengan dunia maya. Dia meraba udara, aku menciumnya: sia-sia.
3. Perpustakaan fakultas kami yang ramai. Kami mencarinya di tengah-tengah celotehan mahasiswa, di percakapan ringan para penjaga, di tengah rak-rak yang berisi buku yang kertasnya menguning, dan di lantai yang berkeramik merah tua. Kami pun membaca beberapa koran (hanya memuat berita buruk dari manusia-manusia haus kekuasaan dan kekayaan), majalah (majalah-majalah disini seakan tak pernah ber-regenerasi), dan buku (ah, ternyata tak banyak orang yang meminjam buku selain novel dan bahan kuliah mereka) tapi tetap tak bisa menemukan dimana imajinasi berada.

Kami lelah. Kini kami memutuskan untuk beristirahat sejenak di klaster. Rumput hijau dan tanah yang selalu lembab, penglihatan yang leluasa ke segala arah dengan pemandangan yang seimbang antara jembatan teksas yang didominasi warna merah, kilau air danau yang memantulkan sinar matahari, pepohonan hijau di sekeliling kami serta latar belakang gedung fakultas teknik di kejauhan menjadi tempat melepas lelah sekaligus lokasi pencarian terakhir kami.

Sampai saat ini aku masih tak berani bertanya kepada perempuan itu tentang imajinasinya yang hilang. Sejak kapan ia merasa kehilangan? Apakah imajinasinya begitu penting? Apa yang dapat dilakukan oleh imajinasi sehingga kehilangannya bisa membuat perempuan itu begitu hampa dan sedih? Apa imajinasi tak dapat dipindah tangankan? Apakah aku bisa meminjamkan imajinasiku untuk mengusir kehampaanya? Apa aku punya imajinasi?

Kami mendekat ke tepi danau lalu melihat ke dalam keruhnya air, berharap ikan-ikan yang terdapat di dalamnya bisa memberi kami informasi akan imajinasi. Tapi ternyata tidak. Air danau hanya memantulkan wajah kami yang lelah. Wajah perempuan itu yang hampa dan wajahku yang sedih. Gambaran wajah kami terpantul di satu bayangan pada permukaan air.

Dirinya dan diriku.

Tolong kembalikan imajinasiku.



Tugas Penulisan Populer
29 September 2010

1 comment: