Monday, January 31, 2011

Pie Vla Cokelat

BY ana IN No comments

Pie ini adalah salah satu obsesi saya selama liburan ini. Sejak melihat penampakannya di majalah Saji edisi 120, sosoknya selalu terbayang-bayang.. (halah!). Tapi beneran, ini serius.

Daripada membayangkan sesuatu yang ga mungkin karena ga punya loyang pie, akhirnya saya pun mengalihkan pikiran ke kue-kue yang lain. Brownies, kue keju, dan cake keju seakan menjadi pelarian. Saya pun meneror sang ibu untuk membelikan loyang-loyang yang "pantas" untuk setiap kue. Misalnya loyang chiffon cake, loyang brownies yang persegi panjang, dan tentunya cetakan/loyang pie ini.

Setelah beberapa hari meneror ibu, akhirnya hari ini dibelikan juga. Dananya dari sponsor utama, bapak, sehingga saya ga perlu merogoh kocek untuk loyang. *girang bener*

Dan hari ini pula lah saya mewujudkan sosok yang selama ini hanya berada dalam khayalan. Berikut resepnya dari tabloid Saji edisi 120/Th.V/19 Maret:

Pie Vla Cokelat (untuk 20 buah)

Bahan kulit pie:
50 gram margarin
1 kuning telur
100 gram tepung terigu protein sedang
1 sendok makan gula tepung

Bahan isi:
100 ml susu cair
1 sendok makan cokelat bubuk
30 gram gula pasir
2 sendok makan tepung maizena dan dilarutkan dengan 2 sendok makan air (untuk pengental)
50 gram cokelat masak pekat, dipotong-potong
1 kuning telur

Cara membuat:
1. Kulit. Aduk rata bahan kulit. Pipihkan di cetakan pie kecil yang dioles margarin. Tusuk-tusuk.
2. Oven 20 menit dengan suhu 170 derajat Celcius sampai matang.
3. Isi: rebus susu cair, cokelat bubuk, dan gula pasir sambil diaduk hingga mendidih.
4. Tambahkan larutan tepung maizena. Masak sampai kental. Masukkan potongan cokelat masak pekat. Aduk sampai larut. Tambahkan kuning telur. Masak sampai matang.
5. Masukkan dalam kantung plastik segitiga. Semprot dengan spuit di atas kulit. Dinginkan.

Itu resep asli yang patut diikuti seteliti mungkin.

Caraku:
1. Ternyata cetakan pie yang saya beli kebesaran. Cetakan saya adalah cetakan yang berukuran sedang, padahal harusnya yang ukuran kecil. Hasilnya adalah pie yang besar dengan isi sedikit.
2. Lagi-lagi karena oven saya adalah oven tangkring, tidak ada petunjuk waktu sehingga petunjuk derajat panas tidak berguna. Saya mengoven pie ini kira-kira selama 25-3o menit.
3.Saya membuat 2 kali resep untuk kulitnya karena menyesuaikan dengan loyang. Dengan pintarnya, bahan isi pun saya buat 2 kali resep tapi dengan urutan yang sama sekali amburadul. Hasilnya, kuning telur yang seharusnya saya pakai 2 untuk bahan isi, tidak memakai sama sekali.

FYI:
Menusuk-nusuk bahan adonan pie sebelum dimasukkan ke dalam oven gunanya adalah untuk mencegah penggelembungan ketika proses pengovenan. Lubang-lubang tersebut akan langsung mengeluarkan udara yang terperangkap dalam adonan sehingga kulit pie tidak menggelembung.

Untuk kulitnya, hasilnya bagus sekali. Tidak gosong dan renyah serta sangat gampang dilepas dari cetakannya. Mungkin itu karena olesan mentega yang merata pada seluruh permukaan cetakan ketika mencetak adonan. Sedangkan untuk isinya, bagi saya masih kurang memuaskan, mungkin karena kurangnya 2 kuning telur itu tadi. Rasa coklatnya tetap enak, namun teksturnya tidak seperti yang ada si foto tabloid tersebut.. :(

Itu pengalaman saya. Anda?

Sunday, January 30, 2011

Kehilangan

BY ana IN 1 comment

Alkisah ada seorang anak manusia yang sedang bersedih. Bila kau cukup peduli, mungkin kau akan bertanya, “Mengapa?” lalu aku akan menjawab pertanyaanmu dengan serius karena hanya ini cara yang ku tahu untuk menghapus kesedihan anak manusia itu. Aku akan menceritakannya padamu dan aku harap kau bisa hilangkan kesedihan anak manusia itu, namun jika ternyata kau tak bisa, aku harap kau akan menceritakan kisah ini kepada orang lain hingga ada seseorang yang mampu membantunya.

Beruntunglah dirimu karena cerita ini kau dapat dari tangan pertama, artinya kau mendapatkannya langsung dari sumber aslinya. Ya, aku mengenal anak manusia ini. Dia adalah seorang perempuan, walaupun katanya ia sendiri tak yakin. Dia berusia 18 tahun, walau ia sendiri tak yakin. Aku tahu fakta ini dari surat-surat resmi yang berkaitan dengan dirinya, meskipun ia terus menerus membujukku agar tak mudah percaya dengan apa yang ditulis disana karena katanya, “Tak ada yang dapat kau percayai di dunia ini selain dirimu sendiri, wahai dirimu.”

Pada suatu hari aku menemukannya sedang berdiri diam di tengah-tengah tempat terbuka di depan perpustakaan fakultas kami. Wajahnya menghadap ke arah matahari yang sinarnya cukup terik di hari itu. Ia tidak bergerak, hanya menengadah. Tangannya tergantung begitu saja di samping tubuhnya dan kulihat matanya sedikit terpejam untuk menghalau sedikit cahaya yang sangat silau. Orang-orang lalu lalang seakan tak peduli dengan kelakuan aneh manusia yang satu itu. Tak lama setelah aku membiarkannya begitu selama beberapa saat, aku bertanya, “Kau kenapa?” sambil menariknya ke bawah bayang-bayang bagunan perpustakaan.

Kuperhatikan kini wajahnya yang tanpa ekspresi dan sinar matanya yang hampa. Ia tak langsung menjawab pertanyaanku, ia tetap diam sejurus lamanya. Kemudian matanya yang kosong menatap langsung ke mataku, “Aku kehilangan sesuatu, wahai dirimu.”

“Apa?” tanyaku. “Kehilangan apa yang bisa membuatmu bertingkah seperti ini?”
Kau kembali diam, namun kini ditambah senyum sedih di wajahmu.

“Ayo, mari cari lagi bersamaku. Dua orang mencari, lebih baik daripada satu.”

“Kau memang orang yang baik. Tapi sayangnya itu tak membantu sekarang ini. Sesuatu yang kucari bukanlah benda nyata yang bisa ditemukan di dunia fana. Sesuatu ini bukanlah benda yang dapat dirasakan oleh indera biasa. Sesuatu ini bernama imajinasi,” katanya panjang lebar masih dengan wajah hampa yang sarat dengan kesedihan.

Aku pun ikut terdiam seperti dirinya. Imajinasi? Apa imajinasi itu? Bukankah imajinasi merupakan hal yang sama dengan ide, inspirasi ataupun ilham? Ataukah imajinasi adalah kemampuan untuk berkhayal belaka? Aku tak mengerti sama sekali: tentang manusia ini dan imajinasi.

Aku tak mempertanyakan keherananku padanya karena tak ingin dianggap bodoh. Akhirnya di kampus ini, fakultas kami, bersama-sama kami mencari imajinasi: imajinasinya. Beberapa tempat telah kami telusuri:

1. Kelas kami yang bisu. Kami mencari imajinasi di antara bangku-bangku kuliah yang tak teratur posisinya, di dinding-dinding bata berwarna merah yang memisahkan kelas itu dengan kelas sebelah, di bawah meja kayu berat yang disediakan untuk dosen, serta di papan tulis putih yang penuh coretan istilah yang sebagian tak dapat kami mengerti. Kami tak bisa menemukannya
2. Taman-taman fakultas kami. Kami mencari di kekokohan bangku semen yang melingkar, di atas meja bundar yang permukaanya tak rata, bahkan di udara yang katanya penuh dengan sinyal-sinyal yang dapat menghubungkan dunia nyata dengan dunia maya. Dia meraba udara, aku menciumnya: sia-sia.
3. Perpustakaan fakultas kami yang ramai. Kami mencarinya di tengah-tengah celotehan mahasiswa, di percakapan ringan para penjaga, di tengah rak-rak yang berisi buku yang kertasnya menguning, dan di lantai yang berkeramik merah tua. Kami pun membaca beberapa koran (hanya memuat berita buruk dari manusia-manusia haus kekuasaan dan kekayaan), majalah (majalah-majalah disini seakan tak pernah ber-regenerasi), dan buku (ah, ternyata tak banyak orang yang meminjam buku selain novel dan bahan kuliah mereka) tapi tetap tak bisa menemukan dimana imajinasi berada.

Kami lelah. Kini kami memutuskan untuk beristirahat sejenak di klaster. Rumput hijau dan tanah yang selalu lembab, penglihatan yang leluasa ke segala arah dengan pemandangan yang seimbang antara jembatan teksas yang didominasi warna merah, kilau air danau yang memantulkan sinar matahari, pepohonan hijau di sekeliling kami serta latar belakang gedung fakultas teknik di kejauhan menjadi tempat melepas lelah sekaligus lokasi pencarian terakhir kami.

Sampai saat ini aku masih tak berani bertanya kepada perempuan itu tentang imajinasinya yang hilang. Sejak kapan ia merasa kehilangan? Apakah imajinasinya begitu penting? Apa yang dapat dilakukan oleh imajinasi sehingga kehilangannya bisa membuat perempuan itu begitu hampa dan sedih? Apa imajinasi tak dapat dipindah tangankan? Apakah aku bisa meminjamkan imajinasiku untuk mengusir kehampaanya? Apa aku punya imajinasi?

Kami mendekat ke tepi danau lalu melihat ke dalam keruhnya air, berharap ikan-ikan yang terdapat di dalamnya bisa memberi kami informasi akan imajinasi. Tapi ternyata tidak. Air danau hanya memantulkan wajah kami yang lelah. Wajah perempuan itu yang hampa dan wajahku yang sedih. Gambaran wajah kami terpantul di satu bayangan pada permukaan air.

Dirinya dan diriku.

Tolong kembalikan imajinasiku.



Tugas Penulisan Populer
29 September 2010

Wednesday, January 26, 2011

Ontbijtkoek pertama

BY ana IN , No comments

Maaf, maaf, maaf...

Padahal sambungan posting yang sebelumnya belum ditulis, tapi aku udah nulis posting baru dengan tema yang baru juga. Tapi masih tentang yang sama kok, yaitu cake! (ini ngeles, jelas banget ya?)

Dalam liburan januari ini, sebenarnya ku udah bikin beberapa buah kue yang rutin aku buat minimal 2 buah kue per minggu. Maunya sih laporan ke milis NCC (Natural Cooking Club) segala, tapi apa boleh buat, saya tidak punya kamera untuk mempublikasikan hasil karya (yang masih amburadul). Jadi, saya putuskan untuk tidak laporan sama sekali walaupun hampir semua resep yang saya coba merupakan hasil contekan dari milis tersebut. (kamera hanyalah alasaaaann... :p )

Terus terang hari ini saya tidak ada mood untuk membuat kue. Tapi karena merasa adanya suatu keharusan untuk menyalurkan hobi makan cake, maka dilakukan saja acara baking ini. Selain itu, kegiatan ini didukung oleh sanag bapak dengan cara memberi subsidi bahan baku cake (makasiah paakkk!!!). Akhirnya setelah cari2 resep dari internet maupun majalah Saji (punya kakak), pilihan jatuh kepada kue Ontbijtkoek yang resepnya ada di bonus tabloid Saji edisi ke 100.

Ontbijtkoek artinya adalah sarapan. Konon, kue ini adalah warisan kuliner dari negara Belanda, yang pernah menjelajah negeri Indonesia ini selama 350 tahun. Berikut resepnya:

Ontbijtkoek Keju

Bahan:
5 butir telur * 100 gram gula pasir * 25 gram gula merah disisir halus * 150 gram tepung terigu protein sedang * 2 sdt bumbu spekuk * 75 gram margarin, dilelehkan * 50 gram kenari, dicincang kasar * 50 gram keju cheddar parut untuk taburan

Cara membuat:
1. Kocok telur, gula pasir, dan gula merah hingga mengembang. Tambahkan tepung terigu dan bumbu spekuk sambil diayak dan diaduk rata.
2. Masukkan margarin leleh dan kenari sedikit-sedikit sambil diaduk perlahan.
Tuang di loyang 20cm, tinggi 7cm yang dioles margarin dan dialas kertas roti. Tabur keju cheddar parut.
3. Oven 15 menit dengan suhu 190 derajat Celcius. Turunkan suhunya hingga 180 derajat Celcius. Oven lagi 20 menit hingga matang.

Yang saya praktekan hari ini sangat berbeda dengan resep tersebut:
1. Tanya-tanya ibu, spekuk adalah bubuk kayumanis dan kebetulan di rumah tersedia. Namun, sepertinya udah kadaluarsa karena samar-samar di tulisan best beforenya, masih terlihat angka 08 yang hampir hilang. Kata ibuku, "pakai aja lah. baunya masih sama kok." Uh-oh semoga aman. (berdoa sepanjang inget)
2. Dengan entengnya, sang ibu memasukan pengembang adonan (SP)saat telur dan gula masih dikocok. "Emang di resep ga pake pengembang ya? Udahlah pake aja. Ngabisin."
3. Telur yang digunakan merupakan campuran dari 4 telur ayam dan 1 telur bebek.
4. Ga punya kenari!! jadi dilewatkan saja bagian yang itu.
5. Loyang yang kugunakan merupakan loyang untuk chiffon cake.
6. Ovenku oven tangkring, bukan oven listrik yang punya pengatur suhu. Jadi ga pake atur suhu segala.
7. Waktu pembakaran kira-kira 40-45 menit.

Hasilnya?

Not bad at all. Wangi kayumanisnya enaaakk banget. Teksturnya lembut dan rasanya ga terlalu manis. Satu resep ini sudah habis 75% dalam jangka waktu 3 jam. yang 25 persennya disisihkan untuk bapak dan kakak tertua yang belum pulang.

Itulah cerita Ontbijtkoek yang bukan untuk sarapan.

Sunday, January 9, 2011

brownie brownie brownies

BY ana IN , No comments

libur pergantian semester di tahun kedua kuliahku telah dimulai sejak tanggal 1 Januari 2011 lalu. Durasi libur ini adalah sebulan lebih sedikit.

Pada minggu pertama liburan, aku telah membuat 2 kue yang kukerjakan untuk eksperimen. Hanya eksperimen karena aku tak yakin akan jadi apa hasilnya (tentu saja kue, tapi bukan masalah itu). Sebisa kuingat, terakhir kali aku membuat kue adalah 2 tahun yang lalu. sebuah cheese cake untuk seorang teman. tidak, kue tersebut tidak beracun dan tidak dibuang ke tempat sampah.

hari Rabu (5 Jan 2011) aku membuat brownies ku yang pertama (bukan yang pertama dalam hidup). akhirnya tak begitu bagus walalupun tidak buruk juga. aku ingin mengambil gambar untuk dipamerkan, tapi karena telepon genggamku merupakan warisan jaman monoponik awal, warna di tampilannya saja sudah merupakan suatu anugrah. resep brownies ini kudapat dari milis NCC yang kuikuti melalui email Yahoo-ku. Tanpa basa-asam, berikut resepnya:

resep brownies panggang ekonomis

Bahan:
200gr terigu protein sedang
50gr coklat bubuk
1sdt baking powder
300gr telur (saya memakai 5 butir telur)
300gr gula pasir
1sdt emulsifier
200gr minyak sayur
1/4sdt garam
30ml susu cair (saya pakai susu kental tang dicairkan)

Cara:
Ayak sambil diaduk rata terigu, coklat bubuk, baking powder, sisihkan
Kocok telur, gula, emulsifier sampai mengembang, tambahkan campuran tepung yg sudah diayak.
Panaskan oven. Saya memakai oven tangkring yang berbentuk kotak itu lho.
Tambahkan minyak goreng, garam, susu, aduk rata
Tuang ke loyang. Saya memakai loyang tulban, tapi lebih baik jika anda memakai loyang brownies. Menurut sumber, bila memakai loyang brownies ukuran 30x10, bisa menjadi 3 loyang.
Panggang pada suhu 170 derajat (bila menggunakan oven listrik) selama 30 menit.
Lakukan tes tusuk. bila tidak ada lagi adonan yang menempel, berarti sidah matang. Jangan samapai gosong (overbaked), bila bagian tengah belum matang, kecilkan api dan panggang hingga semua bagian matang.

Hasilnya? enak. Namun teksturnya kurang pas untuk brownies. Dengan tekstur cake yang ringan, lebih tepat disebut bolu. Karena hal ini lah saya memutuskan untuk membuat eksperimen brownies kedua yang dilakukan hari sabtu (8 Januari 2011)

-bersambung-