Friday, December 10, 2010

Bapak

BY ana IN No comments

Aku kembali lagi ke sini, ke rumah yang sebelumnya aku kubur di bagian tergelap hatiku. Rumah yang telah bertahun-tahun kutinggalkan, baik secara fisik maupun batin. Mengingatnya pun membuatku gelisah dan terjaga dari tidur. Rumah kecil semi-permanen yang sebagian ruangannya masih terbuat dari anyaman bambu ini hanyalah rumah biasa, namun aku bersikeras untuk tidak mengingatnya, walaupun tak pernah benar-benar melupakannya.

Rumah itu dihuni oleh dua manusia dewasa dan satu manusia renta. Kedua manusia dewasa itu adalah ibu dan adik perempuanku, yang hingga kini masih bekerja sebagai penggarap sedikit tanah warisan kakekku yang kini sudah meninggal. Mereka menanami tanah itu dengan sayur-mayur, pohon buah, dan sedikit tanaman bumbu untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari mereka yang tidak banyak. Sedangkan orang yang satu lagi sengaja kusebut sebagai manusia renta, karena meskipun dengan tubuh yang sudah kehilangan keremajaanya, pikiran sang tubuh masih saja kekanak-kanakkan. Manusia renta itu bapakku.

Setelah dua tahun kutinggalkan tempat ini, ternyata tak banyak perubahan yang menjamahnya. Hanya sebuah tiang listrik berdiri persis di sudut depan kanan halaman rumah itu, rumahku dulu. Batu-batu kerikil di sepanjang jalan melintasi halaman pun sama, serta pepohonannya, bale-bale di teras rumah, bahkan kaleng sedekah berisi receh untuk infaq masjid pun masih tergantung di salah satu tiang penyangga atap teras. Semua sama, kecuali aku.

Aku pergi dari rumah ini tepat dua tahun yang lalu dengan perasaan kecewa dan marah hasil dari endapan rasa itu selama bertahun-tahun. Aku meledak dengan penuh jeritan kemarahan dan memandang bengis kepada semua orang yang berada dirumah itu: orang tuaku, adik perempuanku, serta orangtua calon suamiku. Saat itu aku benar-benar hilang akal: berteriak di depan ayahku, menjerit histeris di depan calon suamiku, serta mendebat orangtuanya. Namun tetap saja, aku bersikap paling brutal di depan orang tua peyot yang sok berpenampilan mistis dan mengatakan hal-hal yang intinya membatalkan acara perkawinanku. Perkawinanku!!

Mereka semua, orangtuanya dan orangtuaku, percaya akan perkataan yang dipanggil Ki itu. Calon suamiku pucat seperti kehabisan darah. Aku sebaliknya, setelah mendengarkan perkataannya bahwa secara weton dan primbon kami tak cocok, langsung naik darah. Aku mendebat secara kasar dan sengit perkataan sang sepuh dengan berbagai teori yang baru kupelajari di universitas. Orangtua kami hanya terpana dan terutama ayahku, yang memanggil sang sepuh, merasa tersinggung dan dipermalukan. Aku mendebat, sang sepuh tak mau kalah. Para orangtua yang awalnya terpana dengan perdebatan kami, akhirnya membela sang sepuh yang mereka anggap “pintar” dan sakti.

Puncaknya, bapak menampar kedua pipiku. Mendadak semua orang diam.

Yang kuingat kemudian adalah aku tak lagi bisa melihat secara jelas karena mataku dibutakan oleh airmata. Aku keluar, berlari, berlari, merasa lelah, kemudian terus berlari hingga langit yang tadinya berwarna biru cerah berubah menjadi hitam pekat tanpa cahaya. Persis seperti penggambaran bapak saat menceritakan padaku tentang anak sang Batara Guru, Batara Kala, akan memakan manusia yang belum disucikan jasad dan jiwanya di tengah kelamnya malam seperti ini. Teringat hal itu membuatku menangis lagi, di tempat yang sama sekali tak kuketahui, dan di tengah orang-orang yang tak kukenali.

***

Bapak yang kukenal adalah orang yang keras kepala dan tak banyak bicara. Ia bertubuh tinggi dan tegap walaupun badannya kurus dengan tulang pipi yang menonjol. Seperti orang tua lainnya di desa kami, Bapak dan Ibu suka sekali menonton wayang. Biasanya bila ada yang menggelar pertunjukkan wayang dalam rangka khitan, kawinan, atau ruwatan, mereka selalu pergi berdua, meninggalkan aku dan adikku yang berbeda sepuluh tahun dariku. Mereka akan pulang setelah malam diam-diam mengganti hari, seperti sepasang kekasih yang baru pulang kencan. Aku selalu terbangun saat itu, tapi selalu diam.

Keluarga kami bukanlah keluarga yang kaya maupun berkecukupan. Bapak bekerja sebagai petani bayaran, ibu menanami pekarangan kami dengan berbagai sayuran untuk makan sehari-hari dan sesekali ada kelebihan untuk dijual di pasar. Aku sering merasa kelaparan, apalagi saat adikku mulai tumbuh besar dan memakan jatah yang sama besarnya denganku. Aku harus dengan terpaksa berbagi makanan dengannya, bukannya aku pelit, tapi karena porsi ku saat itu juga sangat sedikit.

Untuk sekolahku pun bukan dengan biaya dari orangtuaku, melainkan dari kakekku yang setiap bulan masih menerima pensiunan tentara (walaupun jumlahnya sangat jauh dari cukup bahkan untuk jatah makan seorang kakek yang sebatang kara seperti dirinya). Ia menghibahkan uang pensiunan itu padaku, untuk keperluan sekolah, sedangkan ia berbagi makanan dengan keluarga kami. Aku terus bersekolah dengan tenang hingga kelas 1 SMA, saat akhirnya sang kakek meninggal. Adikku bahkan belum sempat mencicipi sekolah saat itu. Beruntung, saat itu di sekolahku ada program yang membuatku (dan beberapa siswa tak mampu lainnya) bisa terus sekolah dengan bantuan sumbangan dari seluruh warga sekolah.

Aku makin semangat sekolah, begitu pula adikku. Maka mulai saat itu aku, ibu dan adikku bersama-sama menggarap tanah warisan kakek untuk dijadikan perkebunan buah dan sayuran. Hasilnya dijual untuk membiayai sekolah adikku. Bapak yang masih menjadi petani upahan hanya diam dan tak keberatan selama itu semua berlangsung, tapi ada gurat sedih dan tak setuju di wajahnya.

Lalu terjadi hal yang membuat geger keluargaku. Bapak hendak melakukan ruwatan untuk dirinya sendiri! Aku dan ibuku tidak mengerti masalah apa yang dihadapi bapak hingga ia merasa harus diruwat, belum lagi ritual itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ibu lalu menanyai alasan bapak. Menurut bapak, ia adalah anak ontang-anting yang belum sempat diruwat dan lagi ia merasa akhir-akhir ini ia merasa selalu sial. Ia ingin membuang kesialan itu dengan ruwatan. Tak hanya keluargaku yang merasa heran, para tetangga pun bingung. Sungguh kasus yang tak biasa saat seorang bapak dua anak meruwat dirinya sendiri, padahal anak perempuannya pun belum diruwat.

Jadilah acara itu dengan lumayan ramai menggunakan gaji bapak sendiri ditambah hasil penjualan kebun kami yang masih lebih banyak daripada gajinya. Ada pentas wayang, ritual penyucian, doa-doa (mantra-mantra?) yang tak dapat kumengerti, serta makanan melimpah yang sebelumnya belum pernah tersaji di rumah kami sendiri. Aku takjub sekaligus kecewa. Ibu diam menahan tangis. Adik bahagia bisa memcicipi makanan yang belum pernah ia makan sebelumnya.

Itulah bapak. Kecintaan dan keyakinannya pada adat-adat budayanya masih mengakar kuat di dalam dirinya, yang ia mampu lakukan maupun yang tidak. Aku ingat saat adikku baru lahir, ia sering sekali mengadakan bancaan untuk memperingati 7 bulan dikandungnya adikku dalam rahim ibu, 5 hari lahirnya adikku, 35 hari, bahkan saat membuang ari-ari. Saat itu aku belum tahu bahwa ia membiayai semua itu dengan berhutang. Hutang yang sangat banyak kepada pemilik sawah yang ia garap selama ini.

Kami miskin, kami serba kekurangan. Tapi sepertinya itu bukan halangan bagi bapak untuk mematuhi ritual adat yang ia percayai. Seperti saat ia menghancurkan rencana perkawinanku. Saat itu aku masih menempuh pendidikanku di universitas dengan bantuan beasiswa dan kemudian aku bertemu pria yang menyatakan kesiapannya untuk meminangku. Aku terpesona dengan keseriusan pria itu, jadi tak kutolak lamarannya.

Kemudian, kau tahu apa yang terjadi.
***

Aku mengetuk pintu depan, pintu yang kubanting saat ku pergi dari di rumah ini dua tahun lalu. Pintu yang menjadi saksi terakhir diriku yang kemudian tak pernah muncul lagi di hadapannya selama lima tahun hanya untuk menata hariku yang hancur. Bukan berarti aku meninggalkan ibu dan adikku yang sangat kucintai, tapi meninggalkan keegoisan sang bapak yang selalu terpancar dari mata kelam dan mulutnya yang terkunci oleh diam. Aku sering bertemu dengan ibu dan adikku di luar rumah, entah di pasar, rumah makan, atau kamar kosku sendiri. Dan mereka tak henti-hentinya menyuruhku pulang dan segera sungkem kepada bapak. Ku akui, egoku sangat besar dan aku juga keras kepala. Nasihat mereka hanyalah angin lalu saja untukku. Hingga saat ini.

Hingga hari ini, saat aku ingin kembali belajar mencintai seseorang yang mencintaiku dengan segala keterbatasannya sebagai seorang manusia. Kini aku ingin membuang keegoisanku agar kesalahan bapak yang dulu tak terulang: agar ibu tak lagi menahan tangis, dan agar keluarga kami keluar dari jerat hutang.

Pintu terbuka. Lelaki kurus namun lunglai itu kini memiliki mata yang bercahaya saat melihatku. Aku tak kuasa menahan tangis.

“Bapaakk…”

Selasa, 9 November 2010

-tugas penulisan populer dengan tema muatan lokal-

0 comments:

Post a Comment